Jumat, 10 Februari 2012

Stronger Than Yesterday

Sayang, akhir-akhir ini aku merasa bagai raga tak bernyawa, sudah tidak tahu inginku apa, sejak amarahku yang memuncak. Sebuah keinginan sederhana yang tak terdengar olehmu, semudah itu kau buat semua ria menjelma menjadi duka cita. Bodoh memang untuk ku percaya kamu mengenalku, kamu tahu isi hatiku, kamu berkorban sedikit waktu. Asal kamu tahu sayang, perempuan suka dibuat spesial oleh orang yang dia cinta, didahulukan kepentingannya, apalagi untuk kepentingan bersama, sedikit saja kamu mengesampingkan keegoisan diri, maka kamu akan memenangkan cinta dia selamanya, tapi jika tidak? Inilah akibatnya, kecewa yang akan terus terbawa.

Tahukah kamu sayang, bahwa hati seorang perempuan adalah yang paling sensitif!  Ya, se-lembut dan semulia hati Ibumu, maka jikalau kamu mengerti dia, pasti tak sulit juga untuk kamu mengerti aku. Hati perempuan yang berusaha selalu menerima meski tak seindah angan, mengalahkan segala keegoisan dan memaafkan segala kecurangan. Hati yang lirih berdo’a di kala kamu jauh, kala kita tidak saling berdekatan, bahkan dikala sudah tersakiti sekalipun. Hati yang mendadak sembuh dengan sendirinya saat kamu mengurai janji indah, harapan masa depan atau sekedar memuji basa-basi.

Diri ini sudah tidak boleh mempunyai amarah, sekalinya amarah hanyalah amarah, bukan membela keberadaannya, namun kita semua tahu ketika amarah menguasai apapun bisa terjadi, apapun bisa disebut, sadarkah kamu? Sesering itu amarah merasuki kamu dan aku masih bisa diam, mencoba membuang segala prasangka, dan menganggap itu bukan kamu yang sebenarnya. Lalu ketika keadaan berbalik? Aku tidak mendapatkan pemakluman, semua dianggap kurang ajar, dan terlanjur tersebar-sebar.  Sungguh ku memohon padamu sayang, sadarlah, yang kamu pacari ini bukan bidadari, dia manusia, sama sepertimu juga, jadi berhenti menuntutnya untuk sempurna.

Sayang, aku minta maaf, kalau kekuranganku sebagai manusia tidak bisa kamu terima, tidak bisa kamu maafkan, tapi akupun bukan manusia bodoh, yang sudah tahu salah tidak berbuat apa-apa. Sesegera mungkin aku luruskan segalanya, aku hadapi, tidak lantas membiarkan segalanya berlarut. Dimalam itu rasanya ingin sekali menjerit!!!! TUHAANNN Engkau tak adil!!! Kemudian aku berfikir lagi, ohh aku salah, salah, ini adalah cara Tuhan menaikkan derajatku, bahwa aku sedang “dikuatkan” untuk menghadapi dunia yang memang (selalu) tak adil.

Sekarang, ku tak tahu rasa apa ini, seolah cintaku memiliki cara yang salah, padahal setahuku cinta tak pernah punya aturan baku, let me love you with my own way.. masih berlakukah itu? Jika tidak, aku dan jutaan orang didunia inipun sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa.




Everything seems gonna be different since that day.. you will never know me, dear.. never..

Selasa, 07 Februari 2012

Aku dan Pilu


Hujan ringan berpotensi deras
Secangkir kopi instan yang masih mengepul
Dengan hati yang direndung pilu
Kombinasi yang pas!
Begitulah rasa yang ku nikmati sore ini...

Cinta, lagi-lagi tentangnya, seolah tidak pernah akan habis kata untuk membahas, hasrat yang terkuras dan emosi yang memanas. Yes, perasaan pilu ini kembali disponsori oleh cinta yang sedang diuji kesetiaannya, kesejatiannya, dan kemurniannya.

Aku lelah, aku hanya ingin dicinta dengan sempurna olehmu, tidakkah perasaan kita sama? Meski kadang amarah itu meradang, emosi itu meletup-letup, bibir salah berucap, fikiran salah dimaksud, namun kita selalu bisa mengatasi, berlapang dada dan tersenyum kembali. That’s love supposed to be, sesengit apapun pertengkaran, selalu bisa berakhir dengan pelukan, karena (harus) ada hati yang menyelamatkan.

No, ini bukan pembenaran atas kesalahanku, kesalahan tetap kesalahan, and i learned a lot, aku belajar banyak dari situ, aku manusia, wajar salah, tapi aku berusaha bertanggung jawab untuk memperbaiki dan menjadi lebih baik (vise versa).

Sudah ku singkirkan segala mau-ku, segala ketidakadilan, segala kecewa yang mungkin hanya aku saja yang bisa merasa. Aku tidak ingin tenggelam dan meratapi, aku ingin berdiri tegak atas segala tuduhan, bangkit dan tersenyum. “Aku masih ingin kita baik-baik saja”

CINTA! Serumit itukah? Padahal harusnya kita sama-sama tahu dan berpulang pada impian indah, cita-cita mulia, dan harapan yang sudah dibangun sampai sejauh ini. Aku percaya kamu punya sikap dan pemikiran yang jauh lebih dewasa, berprinsip jelas, bisa membimbing dan lebih siap menjadi imam keluargamu, kelak.

*ini koq keyboardnya basah sihhhh*

Oh, itu air hujan yang menetes lewat mataku.